“Fomototo” dan Fenomena Kantor Sunyi: Ketika Puzzle Jadi Pelarian Karyawan Jakarta

Jakarta – Sudirman, Lantai 17.

Jam makan siang. Tapi bukan bunyi sendok di pantry yang terdengar, melainkan… ketukan jari di keyboard.
Tapi bukan mengetik laporan.
Bukan juga ngebales email bos.
Melainkan suara halus dari puzzle digital yang… bikin tenang.

“Gua udah di level 38,” bisik salah satu staf, setengah berkonspirasi.
Yang lain mengangguk pelan.
Dan tanpa perlu kode lebih lanjut, mereka semua tahu:
Fomototo.


Bukan Sekadar Game, Tapi Gerakan Senyap

Dalam beberapa bulan terakhir, fomototo menjadi fenomena bawah tanah di kalangan pekerja kantoran Jakarta.

Bukan karena hadiahnya.
Bukan karena bisa viral.
Justru karena tidak ada tuntutan sama sekali.

“Capek jadi produktif terus,” ujar Dita, analis data di sebuah startup fintech.
“Di Fomototo, nggak ada yang nilai kerjaan lo. Nggak ada feedback. Cuma lo dan puzzle warna.”


Kantor-Kantor yang Diam-diam Terhubung oleh Fomototo

Kami menemukan pola yang menarik.
Karyawan dari sektor keuangan, startup teknologi, hingga firma hukum besar ternyata sama-sama menyimpan satu tab rahasia di browser mereka: Fomototo.

Mereka menyebutnya “terapi mikro”.
Satu level puzzle selesai, satu beban pikiran berkurang.
Ada yang bermain saat loading Zoom.
Ada yang bermain ketika terlalu takut membuka email atasan.


Fomototo dan Budaya “Rehat Diam-diam”

Fenomena fomototo ini menandai pergeseran budaya kerja generasi muda:
Dari eksplisit ke implisit.
Dari rehat panjang ke rehat tersembunyi.
Dari pelarian mewah ke pelarian mental murah-meriah.

Fomototo bukan hiburan megah.
Tapi di kantor-kantor ber-AC dan meja coworking space yang steril,
Fomototo hadir sebagai bentuk perlawanan kecil terhadap rutinitas yang menggerus makna.


Penutup: Fomototo Sebagai Bentuk Self-Care yang Tak Terlihat

Fomototo mungkin bukan solusi permanen.
Ia bukan psikolog, bukan HRD, bukan mental coach.
Tapi di tengah dunia kerja yang cepat dan kadang kejam,
fomototo memberi ruang sunyi untuk berpikir, menata ulang, dan… bernapas.

Karena kadang, menyusun warna lebih menyembuhkan daripada menyusun KPI.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *